Memahami Teori Akulturasi Budaya

Akulturasi budaya dapat terjadi dikarenakan masyarakat dapat merasakan manfaat dari percampuran budaya luar atau pendatang dengan memodifikasi budaya asli mereka. Beberapa bidang yang paling sering terpengaruh oleh proses akulturasi yakni bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Pada artikel kali ini akan membahas mengenai memahami teori akulturasi budaya menurut para ahli.

Perbedaan budaya menjadikan suatu ketertarikan agar dapat terjadi proses adaptasi menjadi berbagai bentuk kebudayaan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kemajuan zaman dan juga kebutuhan dari masing-masing kelompok untuk bisa bertahan dan juga dapat terus berkembang.

Memahami Teori Akulturasi Budaya

Memahami Teori Akulturasi Budaya Menurut Para Ahli

Dr. Trina Harlow dari University Central Arkansas menganggap bahwa akulturasi sebagai cara untuk mempertahankan budaya sendiri sekaligus belajar memahami keberadaan budaya lain. Beliau memberikan analogi yang menarik terkait proses akulturasi. Baginya akulturasi seperti sebuah mangkuk salad. Dalam satu mangkuk itu berisikan berbagai jenis bahan makanan yang bermacam-macam tetapi bercampur dan saling meningkatkan posisi satu sama lain. Terkait proses akulturasi sendiri, terdapat berbagai perdebatan teori bagaimanakah proses akulturasi dilakukan oleh individu ataupun kelompok.

Sedangkan, menurut sosiolog Gillin dan Raimy akulturasi adalah proses budaya dalam suatu masyarakat yang dimodifikasi dengan budaya lain. Proses akulturasi terwujud dikarenakan adanya kontak sosial dari budaya satu dengan budaya yang lain, budaya asli dengan budaya pendatang.

Hal itu berarti, akulturasi merupakan langkah-langkah melahirkan kebudayaan dengan melakukan pembiasaan namun tetap dengan mempertahankan kebudayaan lama. Alhasil, proses akulturasi berjalan secara dinamis dan terbuka, tidak tunggal dan tertutup.

Devereux dan Loeb mengatakan bahwa akulturasi merupakan proses kelompok tanpa mengacu pada peran individu. Apabila didasarkan pada kelompok dijadikan sebagai kepentingan konstituen dalam suatu budaya.

Sedangkan Dohrewen dan Smith mengungkapkan, meskipun kelompok sebagai elemen penting dalam akulturasi, tetapi memiliki pengaruh terhadap peluang akulturasi individu.

Perdebatan di atas pada akhirnya ditegaskan kembali oleh Gillin dan Raimy, dan Eaton bahwa akulturasi dapat terjadi pada keduanya, baik kelompok maupun individu. Mengacu pada analisis tingkat kelompok, akulturasi menunjukkan perubahan orientasi nilai dan juga adopsi nilai-nilai kelompok lain.

Namun, hal tersebut bukanlah kondisi utama yang diperlukan agar akulturasi bisa diciptakan. Akulturasi lahir dari naluri manusia menciptakan manfaat untuk manusia, alhasil intervensi tidak dapat menghasilkan akulturasi.

Berkembangnya Kebudayaan

Perkembangan zaman pasti terjadi. Seiring berjalannya waktu, manusia akan berkembang sekaligus kebudayaan. Kepribadian manusia tidak akan tercipta tanpa adanya kebudayaan, begitu pun dengan kebudayaan yang tidak akan lahir tanpa kehadiran manusia.

Akulturasi budaya membawa perubahan sosial lebih baik. Kebudayaan yang terbuka dengan budaya luar terbukti lebih kuat dan siap dalam menghadapi perkembangan zaman. Namun, tanpa kebijaksanaan, akulturasi budaya dapat menjadi ancaman bagi karakter masyarakat yang asli.

Seperti kutipan ilmu sosial bahwa manusia adalah makhluk sosial, akulturasi membuktikan bahwa manusia yang bisa bersolidaritas dapat bertahan dalam waktu yang lama. Dalam Sapiens karya Yuval Noah Harari, berulang kali ia mengatakan bahwa peradaban manusia bisa lebih baik daripada spesies yang lain adalah karena manusia bisa bekerja sama. Kekuatan utama manusia adalah kerja sama. Kerja sama melahirkan imajinasi untuk melakukan sesuatu lebih besar.

Teori Mengenai Cultural Lag

Pada artikel kali ini akan membahas mengenai definisi cultural lag, bagaimana teori mengenai cultural lag, dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari cultural lag.

Teori Mengenai Cultural Lag

Definisi Cultural Lag

Cultural lag dalam bahasa Indonesia disebut dengan ketertinggalan budaya. Dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Kewarganegaraan Demokratis, ketidakcocokan budaya adalah elemen lain dari budaya yang berubah.

Ketertinggalan budaya ini terjadi karena tidak aktifnya salah satu faktor budaya. Cultural lag juga dikenal sebagai ketidakseimbangan satu faktor budaya untuk mengakomodasi faktor budaya lain yang telah berubah. Sementara itu, William F. Ogburn menjelaskan teori pergeseran budaya dari perspektif sosiologis. Teori tersebut menjelaskan bahwa budidaya dan pertumbuhan pasti akan selalu berbeda. Secara keseluruhan teori, ketertinggalan budaya menjelaskan perbedaan tingkat kemajuan budaya yang berbeda. Dimana budaya tumbuh cepat, sedang budaya yang lain berjalan lambat.

Perbedaan tingkat kemajuan adalah bagian dari mobilitas budaya. Konsep ketertinggalan memiliki beberapa arti tersendiri, seperti periode waktu munculnya penemuan baru dan penerimaan penemuan tersebut.

Ketertinggalan budaya tersebut merupakan bagian dari fenomena sosial yang sering terjadi di masyarakat. Perubahan budaya menggambarkan apa yang terjadi dalam suatu sistem sosial ketika mengalami perubahan dan pengaruhnya tidak seimbang. Seringkali, cultural lag merupakan akibat dari gesekan antara penemuan baru dengan adat istiadat masyarakat sekitar yang ada.

Menurut kamus sosiologi, cultural lag adalah periode antara masuknya perkembangan teknologi baru (budaya material) ke dalam suatu budaya atau suatu masyarakat. Cultural lag dapat didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu budaya untuk mengejar inovasi teknologi. Ketertinggalan budaya juga bisa disebut ketidaksesuaian budaya.

Teori Mengenai Cultural Lag

Istilah cultural lag diciptakan oleh William F. Ogburn pada tahun 1992 dalam bukunya “Changing Society with Respect for Culture and Primitive Nature”. Cultural lag atau ketertinggalan budaya adalah tahap yang terjadi sesaat setelah budaya non-material berjuang untuk beradaptasi dengan kondisi material yang baru.

Ogburn menemukan bahwa budaya material cenderung berkembang dan maju lebih cepat daripada budaya non-material. Kebudayaan mengacu pada gagasan, kebiasaan, pemikiran, perilaku dan segala sesuatu yang menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya memiliki dua sisi, dengan material dan tanpa material.

Aspek material mengacu pada elemen budaya yang lebih nyata, seperti teknologi, pakaian, mobil, telepon, dan apa pun yang dapat dilihat dan disentuh daripada diamati. Aspek tidak berwujud mengacu pada bagian budaya yang tidak berwujud, seperti bahasa, ideologi, norma, nilai, gerak tubuh, budaya modern dll.

Ogburn percaya bahwa budaya material cenderung berkembang pesat, sedangkan norma-norma sosial cenderung menolak perubahan dan berkembang jauh lebih lambat.

Dampak yang Timbul dari Cultural Lag

Perubahan dalam masyarakat, terutama yang berkaitan dengan budaya, seringkali membawa dampak. Dampak dari pergeseran budaya adalah menimbulkan goncangan sosial dengan cara berpikir baru, tindakan baru atau aktivitas baru.

Hal ini dapat menyebabkan berbagai jenis konflik, terutama yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional. Misalnya, masyarakat dengan cara pandang yang lebih konservatif yang menginginkan budaya lamanya cenderung tetap sama dengan leluhurnya. Sementara itu, kelompok lain dengan visi yang lebih progresif menginginkan budaya mereka berubah seiring waktu.

Ketertinggalan budaya menciptakan masalah bagi masyarakat dengan cara yang berbeda. Perbedaan yang diciptakan oleh budaya lag menimbulkan masalah sosial dan konflik. Efek pergeseran budaya biasanya terjadi ketika ada ilmu atau teknologi baru.

Ketertinggalan budaya dianggap sebagai masalah etika yang penting karena kegagalan untuk mengembangkan konsensus sosial yang luas tentang penggunaan teknologi modern yang tepat dapat menyebabkan runtuhnya solidaritas sosial, dan konflik sosial muncul.