Mengenal Papeda Khas Timur

Artikel kali ini akan mengenal jenis makanan bernama papeda yang khas dari timur Indonesia, terutama maluku dan papua. Bagi masyarakat Indonesia timur, papeda merupakan makanan utama bagi mereka.

Mengenal Papeda Khas Timur

Apabila diperhatikan sekilas, makanan ini seperti lem dan berbentuk kental, kenyal dan sangat lengket. Biasanya makanan ini dikonsumsi untuk sehari-hari dan disajikan apabila ada acara penting.

Mengenal Papeda Khas Timur

Pada bahasa Unanwatan, papeda dikenal dengan sebutan dao. Berikut ini beberapa informasi menarik mengenai papeda khas Indonesia timur, diantaranya yaitu :

  • Berasal dari Pohon Sagu
    Bahan baku utama pembuatan papeda berasal dari batang Metroxylon sagu Rottb atau dikenal dengan pohon sagu. Batang dari pohon ini diolah sedemikian rupa oleh masyarakat hingga menjadi tepung sagu.
    Masyarakat Indonesia Timur biasanya mencari sendiri pohon sagu ke hutan dan pelosok rawa-rawa hanya untuk memperoleh tepung sagu yang berkualitas baik.
    Pohon jenis ini bisa tumbuh tinggi mencapai 30 meter. Untuk 1 pohon sagu dapat menghasilkan 150 sampai 300 kilogram tepung, kemudian tepung tadi diolah  menjadi papeda untuk dimakan.
  • Dari Indonesia timur hingga sebagai Warisan Budaya
    Papeda awalnya adalah kuliner pokok masyarakat Indonesia Timur yang kini dikenal sampai mancanegara. Keunikan ini lantas membawa papeda dinyatakan menjadi Warisan Budaya Tak benda Indonesia pada 2015 silam.
  • Kuliner Pokok Khas Orang Papua dan Maluku yang Kaya Gizi
    Orang-orang di Indonesia timur khususnya Maluku dan Papua, mengonsumsi papeda sebagai makanan pokok. Tampilannya terbilang unik, namun jangan meremehkan kandungan gizinya.
    Selain kaya serat, papeda juga rendah kolestrol dan bernutrisi. Papeda memiliki nutrisi esensial seperti protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, serta lain-lain.
    Bahkan, rutin mengkonsumsi papeda bisa meningkatkan kekebalan dan daya tahan tubuh, dan mengurangi resiko terjadinya kanker usus, hingga membersihkan paru-paru.
  • Dipercaya menjadi Jelmaan Insan

    Bagi orang Papua, papeda bukan sekadar makanan utama. Lebih dari itu, papeda mengandung unsur mitologi didalamnya. Suku-suku di Papua meyakini apabila sagu, kemudian diolah menjadi papeda, ialah penjelmaan dari insan.
    Itulah alasan ketika memanen sagu, masyarakat di Raja Ampat acapkali menggelar upacara khusus sebagai bentuk rasa syukur serta penghormatan terhadap hasil panen (sagu) yang melimpah.

  • Disantap dengan Sumpit spesifik
    Menyantap papeda perlu memakai sepasang sumpit atau dua garpu khusus. Peralatan tersebut diharapkan menjadi indera untuk mengambil dan menyantap papeda tersebut.
    Cara memakan papeda yaitu dengan menggulung-gulung sumpit sampai bubur papeda melingkari sumpit atau garpu. Lalu, letakkan pada piring dan siap disantap beserta kuah kuning.
    Tidak perlu mengunyah makanan khas timur ini, melainkan langsung menyeruput dan menelan papeda.
  • Sering disajikan saat ada acara penting Orang Timur
    Papeda memiliki nilai kesakralan tersendiri bagi masyarakat Indonesia Timur, itu sebabnya disajikan saat acara penting.
    Santapan bertekstur kenyal ini juga disajikan dalam upacara tata adat Papua “Watani Kame”. Upacara ini sebagai pertanda berakhirnya daur kematian seseorang.
    Di Inanwatan, Sorong Selatan, papeda dengan daging babi juga menjadi kuliner yang harus disajikan sewaktu upacara kelahiran anak pertama.
    Di Pulau Seram, Maluku, Suku Nuaulu serta Suku Huaulu melarang wanita yang sedang haid mengolah papeda, sebab menurut mereka proses memasak sagu menjadi papeda disebut tabu.
  • Tradisi warga Sentani hingga sebagai makanan Sehari-hari

    Menjadi identitas Budaya serta Daya Tarik Wisata, sejarah papeda bisa ditelusuri melalui tradisi masyarakat norma Sentani serta Abrab pada Danau Sentani dan Arso, dan Manokwari.
    Mereka kerap menyajikan makanan berbahan dasar sagu ini pada acara penting, misalnya tradisi “Sonar Mohne” oleh Suku Nuaulu, Maluku. Papeda dijadikan menjadi kuliner sakral dalam ritual peringatan masa pubertas seorang gadis.

  • Teman Makan Ikan Kuah Kuning
    Papeda paling lezat disantap ketika masih panas sebab teksturnya masih elastis dan lembut. Olahan sagu ini juga nikmat apabila dimakan beserta ikan kuah kuning.
    Papeda ikan kuning merupakan salah satu kuliner yang mudah dijumpai di daerah Papua dan Maluku. Kuliner satu ini terbuat dari ikan cakalang atau ikan tongkol yang dimasak dengan berbagai bumbu.
    Untuk menikmatinya, hanya perlu mencelupkan papeda yang telah digulung kedalam kuah ikan. Sensasi lembut papeda menyatu sempurna dengan cita rasa kuah ikan kuning yang asam serta pedas.

Berbagai Contoh Akulturasi Budaya

Pada artikel kali ini akan membahas mengenai penyebab dan memahami berbagai contoh akulturasi budaya. –  Akulturasi budaya dapat terjadi dikarenakan masyarakat dapat merasakan manfaat dari percampuran budaya luar atau pendatang dengan memodifikasi budaya asli mereka. Beberapa bidang yang paling sering terpengaruh oleh proses akulturasi yakni bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.

Penyebab Akulturasi Budaya

Akulturasi terjadi disebabkan oleh hubungan budaya antar individu dari dua kelompok yang berbeda. tetapi, proses akulturasi budaya biasanya tampak secara menyeluruh maupun sebagian anggota dari kelompok masyarakat. Proses akulturasi budaya pun bermacam-macam, namun tidak ada yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba. Perubahan sosial bisa dikatakan berhasil apabila individu atau kelompok secara tidak sadar melakukan kebiasaan dari suatu kebudayaan dalam intensitas waktu yang lama.

Perbedaan budaya menjadikan suatu ketertarikan agar dapat terjadi proses adaptasi menjadi berbagai bentuk kebudayaan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kemajuan zaman dan juga kebutuhan dari masing-masing kelompok untuk bisa bertahan dan juga dapat terus berkembang.

Perkembangan zaman pasti terjadi. Seiring berjalannya waktu, manusia akan berkembang sekaligus kebudayaan. Kepribadian manusia tidak akan tercipta tanpa adanya kebudayaan, begitu pun dengan kebudayaan yang tidak akan lahir tanpa kehadiran manusia.

Akulturasi budaya membawa perubahan sosial lebih baik. Kebudayaan yang terbuka dengan budaya luar terbukti lebih kuat dan siap dalam menghadapi perkembangan zaman. Namun, tanpa kebijaksanaan, akulturasi budaya dapat menjadi ancaman bagi karakter masyarakat yang asli.

Seperti kutipan ilmu sosial bahwa manusia adalah makhluk sosial, akulturasi membuktikan bahwa manusia yang bisa bersolidaritas dapat bertahan dalam waktu yang lama. Dalam Sapiens karya Yuval Noah Harari, berulang kali ia mengatakan bahwa peradaban manusia bisa lebih baik daripada spesies yang lain adalah karena manusia bisa bekerja sama. Kekuatan utama manusia adalah kerja sama. Kerja sama melahirkan imajinasi untuk melakukan sesuatu lebih besar.

Berbagai Contoh Akulturasi Budaya

Contoh akulturasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebetulnya mudah ditemukan. Hal itu dikarenakan keragaman etnis, entitas budaya, agama, dan suku bangsa yang dimiliki masyarakat Indonesia. Terdapat beberapa contoh akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia, diantaranya yaitu :

Memahami Contoh Akulturasi Budaya

1. Masjid Langgar Tinggi, Pekojan, Jakarta Barat
Masjid Langgar Tinggi merupakan hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa.

2. Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran, Yogyakarta
Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran merupakan hasil akulturasi budaya arsitektur tradisional Jawa dan Eropa.

3. Kesenian Teater Cekepung
Kesenian teater Cekepung merupakan hasil akulturasi budaya Jawa, Bali, dan Lombok. Jenis kesenian ini biasanya dipentaskan di Bali.

4. Kesenian Gambang Semarang
Kesenian Gambang Semarang merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa.

5. Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat
Pelabuhan Ratu Sukabumi merupakan hasil akulturasi budaya masyarakat Bugis dan Sunda yang terletak di Sukabumi, Jawa Barat.

6. Bakpao
Bakpao bukan makanan asli Indonesia, ternyata bakpao adalah hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Indonesia di makanan

7. Kecap Manis
Kecap Manis yang selama ini kita gunakan sebagai topping makanan merupakan hasil akulturasi budaya Eropa, Tionghoa dan Indonesia.

8. Kue Lapis Legit (di era kolonial Belanda disebut spekkoek)
Kue lapis legit merupakan salah satu makanan tradisional masyrakat Indonesia. Ternyata kue lapis legit merupakan hasil akulturasi budaya Belanda dan Indonesia.

9. Soto
Beragam soto yang ada di Indonesia merupakan hasil akulturasi budaya Tionghoa dan daerah-daerah Indonesia (seperti Jawa, Makassar, Medan).

10. Pie Susu
Pie Susu yang biasa dijadikan oleh-oleh wisatawan dari Bali ternyata adalah hasil akulturasi budaya eropa (Inggris dan Portugis), Tionghoa (Hongkong), dan Indonesia (Bali).

Memahami Teori Akulturasi Budaya

Akulturasi budaya dapat terjadi dikarenakan masyarakat dapat merasakan manfaat dari percampuran budaya luar atau pendatang dengan memodifikasi budaya asli mereka. Beberapa bidang yang paling sering terpengaruh oleh proses akulturasi yakni bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Pada artikel kali ini akan membahas mengenai memahami teori akulturasi budaya menurut para ahli.

Perbedaan budaya menjadikan suatu ketertarikan agar dapat terjadi proses adaptasi menjadi berbagai bentuk kebudayaan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kemajuan zaman dan juga kebutuhan dari masing-masing kelompok untuk bisa bertahan dan juga dapat terus berkembang.

Memahami Teori Akulturasi Budaya

Memahami Teori Akulturasi Budaya Menurut Para Ahli

Dr. Trina Harlow dari University Central Arkansas menganggap bahwa akulturasi sebagai cara untuk mempertahankan budaya sendiri sekaligus belajar memahami keberadaan budaya lain. Beliau memberikan analogi yang menarik terkait proses akulturasi. Baginya akulturasi seperti sebuah mangkuk salad. Dalam satu mangkuk itu berisikan berbagai jenis bahan makanan yang bermacam-macam tetapi bercampur dan saling meningkatkan posisi satu sama lain. Terkait proses akulturasi sendiri, terdapat berbagai perdebatan teori bagaimanakah proses akulturasi dilakukan oleh individu ataupun kelompok.

Sedangkan, menurut sosiolog Gillin dan Raimy akulturasi adalah proses budaya dalam suatu masyarakat yang dimodifikasi dengan budaya lain. Proses akulturasi terwujud dikarenakan adanya kontak sosial dari budaya satu dengan budaya yang lain, budaya asli dengan budaya pendatang.

Hal itu berarti, akulturasi merupakan langkah-langkah melahirkan kebudayaan dengan melakukan pembiasaan namun tetap dengan mempertahankan kebudayaan lama. Alhasil, proses akulturasi berjalan secara dinamis dan terbuka, tidak tunggal dan tertutup.

Devereux dan Loeb mengatakan bahwa akulturasi merupakan proses kelompok tanpa mengacu pada peran individu. Apabila didasarkan pada kelompok dijadikan sebagai kepentingan konstituen dalam suatu budaya.

Sedangkan Dohrewen dan Smith mengungkapkan, meskipun kelompok sebagai elemen penting dalam akulturasi, tetapi memiliki pengaruh terhadap peluang akulturasi individu.

Perdebatan di atas pada akhirnya ditegaskan kembali oleh Gillin dan Raimy, dan Eaton bahwa akulturasi dapat terjadi pada keduanya, baik kelompok maupun individu. Mengacu pada analisis tingkat kelompok, akulturasi menunjukkan perubahan orientasi nilai dan juga adopsi nilai-nilai kelompok lain.

Namun, hal tersebut bukanlah kondisi utama yang diperlukan agar akulturasi bisa diciptakan. Akulturasi lahir dari naluri manusia menciptakan manfaat untuk manusia, alhasil intervensi tidak dapat menghasilkan akulturasi.

Berkembangnya Kebudayaan

Perkembangan zaman pasti terjadi. Seiring berjalannya waktu, manusia akan berkembang sekaligus kebudayaan. Kepribadian manusia tidak akan tercipta tanpa adanya kebudayaan, begitu pun dengan kebudayaan yang tidak akan lahir tanpa kehadiran manusia.

Akulturasi budaya membawa perubahan sosial lebih baik. Kebudayaan yang terbuka dengan budaya luar terbukti lebih kuat dan siap dalam menghadapi perkembangan zaman. Namun, tanpa kebijaksanaan, akulturasi budaya dapat menjadi ancaman bagi karakter masyarakat yang asli.

Seperti kutipan ilmu sosial bahwa manusia adalah makhluk sosial, akulturasi membuktikan bahwa manusia yang bisa bersolidaritas dapat bertahan dalam waktu yang lama. Dalam Sapiens karya Yuval Noah Harari, berulang kali ia mengatakan bahwa peradaban manusia bisa lebih baik daripada spesies yang lain adalah karena manusia bisa bekerja sama. Kekuatan utama manusia adalah kerja sama. Kerja sama melahirkan imajinasi untuk melakukan sesuatu lebih besar.

Bentuk Bentuk Akulturasi Budaya

Masyarakat sosiologi mengenal konsep bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang abadi. Hal itu membuktikan bahwa sesuatu yang berhubungan dengan manusia dan budaya tidak akan pernah berhenti bergerak. Pada artikel kali ini akan membahas mengenai pengertian akulturasi, memahami proses akulturasi, hingga bentuk-bentuk akulturasi budaya.

Bentuk Bentuk Akulturasi Budaya

Pengertian Akulturasi

Secara etimologi, akulturasi merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin yakni acculturate yang berarti “berkembang dan tumbuh bersama”. Akulturasi dapat dimakan sebagai usaha untuk perkembang dan tumbuh bersama. Berawal perubahan dari individu, kemudian bergerak mempengaruhi kelompok.

Koentjaraningrat mengatakan bahwa akulturasi budaya dapat terjadi apabila tercipta interaksi sosial antara budaya asli dengan budaya pendatang untuk kemudian melebur menjadi budaya yang baru tanpa menghilangkan ciri khas atau karakteristi kebudayaan lamanya. Singkatnya, akulturasi yakni percampuran antara kebudayaan luar atau kebudayaan asli berhasil menjadi kebudayaan yang baru.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akulturasi adalah proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu. Kesimpulannya, akulturasi lahir dari hasil interaksi manusia berupa pertemuan antar kebudayaan yang bersinggungan secara perlahan menjadi bentuk budaya baru.

Perubahan teknologi dan informasi yang sangat cepat menyumbang pengaruh besar pada perubahan yang terjadi di masyarakat. Informasi yang dimuat di media sosial, media massa, podcast, televisi, radio dan sebagainya turut mempercepat perubahan bagi orang-orang yang mengonsumsi konten tersebut.

Tidak bisa dipungkiri bahwa informasi yang tersaji di media sosial dan konten-konten dari gawai membawa unsur kebudayaan tertentu. Ketika informasi itu diterima dan dipahami oleh seseorang, secara tidak langsung unsur kebudayaannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok.

Perubahan budaya pada suatu masyarakat dapat menjadi hal positif dan juga bisa menjadi hal yang negatif. Hal tersebut yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota masyarakat untuk bijak dalam menghadapi budaya yang datang.

Memahami Proses Akulturasi

Akulturasi terjadi dikarenakan pencampuran budaya asing dengan budaya sendiri. Beberapa bidang yang paling sering terjadi akulturasi yakni kuliner, gaya berpakaian, arsitektur sebuah gedung, dan lain-lain. Seperti yang sudah disampaikan di atas, proses akulturasi sangat pelan. Akulturasi membutuhkan waktu bertahun-tahun supaya dapat menghasilkan budaya baru di masyarakat.

Kita tahu sendiri apabila proses akulturasi tidak bisa dilepaskan dari budaya asing atau budaya dari luar masyarakat. Budaya asing yang masuk ke lingkungan masyarakat tidak bisa langsung diterima.

Faktor masyarakat sangat mempengaruhi diterima atau tidak sebuah budaya di lingkungan masyarakat. Alhasil, tidak semua pencampuran budaya dapat menjadi perubahan sosial. Hal itulah yang membuat proses akulturasi memerlukan waktu dan proses.

Bentuk-bentuk Akulturasi Budaya

Proses akulturasi budaya juga terjadi dalam beberapa bentuk. Akulturasi yang terjadi pada suatu masyarakat tidak mesti sama. Akulturasi melahirkan keunikan tersendiri untuk setiap budaya. Alhasil, akulturasi untuk setiap masyarakat belum tentu sama dengan masyarakat lainnya. Bentuk-bentuk akulturasi budaya yang terjadi adalah:

  1. Substitusi
    Substitusi adalah proses akulturasi unsur budaya lama digantikan unsur kebudayaan baru atau pendatang, selama masyarakat mendapatkan nilai tambah dan manfaat dari budaya itu.
  2. Sinkretisme
    Sinkretisme adalah proses terwujudnya kebudayaan yang baru karena adanya percampuran unsur budaya asli dan budaya asing.
  3. Addition
    Addition adalah proses akulturasi budaya yang ditujukan untuk menambah nilai dan manfaat dalam budaya yang baru sebagai hasil dari kombinasi budaya asli dengan budaya pendatang.
  4. Deculturation
    Deculturation yang berarti penggantian memiliki makna di mana budaya lama digantikan sepenuhnya dengan budaya baru.
  5. Originasi
    Proses akulturasi di mana budaya pendatang masuk dan membawa perubahan terhadap budaya asli masyarakat secara signifikan

Cara Mengatasi Ketertinggalan Budaya

Pada artikel kali ini akan membahas mengenai contoh-contoh dari fenomena cultural lag dan bagaimana cara mengatasi ketertinggalan budaya tersebut. – Fenomena sosial bisa terjadi karena mereka menolak adanya budaya baru muncul walaupun di tengah era globalisasi entah demi alasan mempertahankan budaya tradisional atau memang hanya mereka menutup diri dari kehidupan sosial. Fenomena seperti inilah yang sekarang disebut dengan istilah Cultural Lag atau ketertinggalan budaya.

Contoh Fenomena Culture Lag

Ada begitu banyak contoh dari fenomena sosial culture lag yang terjadi dan dialami oleh masyarakat, diantaranta kasus-kasus seperti berikut ini :

  1. Pelanggar lalu lintas adalah orang yang kurang disiplin
    Misalnya, terjadi peningkatan pembelian mobil dan sepeda motor. Terjadi kemacetan di beberapa ruas jalan sehingga terjadi pelanggaran lalu lintas. Mobil dan sepeda motor yang seenaknya melanggar peraturan lalu lintas dapat membahayakan keselamatan.
  2. Penggunaan Internet
    Selain internet yang banyak memiliki manfaat positif, Internet juga memiliki dampak negatif pada masyarakat. Adanya berita bohong dan kesimpangsiuran menimbulkan provokasi. Internet menyebabkan kelompok atau individu saling berebut informasi yang belum tentu benar.
  3. Menggunakan teknologi
    Di daerah yang agak terpencil, pengembangan inovasi dan teknologi baru cenderung memakan waktu lebih lama. Oleh karena itu, akan sulit bagi mereka yang tinggal di sana untuk mengakses kemajuan yang ada. Mereka akan berjuang untuk memahami dan mengikuti perjalanan teknologi secara maksimal. Teknologi berkembang untuk memudahkan aktivitas manusia. Namun pada kenyataannya masih ada masyarakat yang kurang bijak dalam menggunakan teknologi. Misalnya penyebaran informasi yang menyesatkan dan membingungkan masyarakat, kasus cyberbullying, masuk ke internet untuk mencari hal-hal yang berbau porno, dan lain sebagainya.
  4. Penemuan vaksin HPV

    Cara Mengatasi Ketertinggalan BudayaVaksin HPV merupakan penemuan untuk mencegah kanker serviks yang  disebabkan oleh human papillomavirus (HPV). Vaksin ini dapat diberikan kepada remaja atau bayi. Namun, penemuan vaksin ini menimbulkan banyak pertanyaan etis.
    Perubahan budaya telah menyebabkan asumsi bahwa vaksin HPV mendorong anak-anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual sejak usia dini. Pertanyaan tersebut muncul karena fakta bahwa kanker serviks disebabkan oleh virus HPV yang ditularkan melalui aktivitas seksual dini. Jadi seorang wanita lebih mungkin terkena kanker jika dia aktif secara seksual.

  5. Rekayasa Genetika
    Rekayasa genetika melibatkan modifikasi DNA atau materi genetik  organisme seluler untuk memodifikasi atau menambahkan sifat baru. Misalnya, calon orang tua dapat menggunakan rekayasa genetika untuk memilih warna mata atau jenis kelamin anak mereka yang belum lahir.
    Namun, banyak orang menganggap jenis rekayasa genetika ini  tidak etis dan percaya bahwa hal itu dapat menyebabkan konsekuensi sosial yang tidak diinginkan. Ini adalah contoh ketidaksesuaian budaya.
  6. Penggunaan Smartphone
    Pasti sering kita jumpai pengemudi yang tidak mengetahui penggunaan ponselnya. Meski tahu itu sangat berbahaya,  mereka tetap saja nekat menggunakan ponsel di jalan. Baik mengendarai motor ataupun mobil. Ini adalah bukti nyata dari pelanggaran lalu lintas yang tidak pantas secara budaya.
    Hal ini terjadi karena masyarakat cenderung kurang kesadaran, kedewasaan dan kesadaran diri untuk menggunakan ponsel dengan bijak. Ponsel memang memiliki fungsi untuk membantu aktivitas manusia, sangat berpotensi menjadi alat yang dapat membahayakan keselamatan penggunanya.

Cara Mengatasi Ketertinggalan Budaya

Pada dasarnya, akan sulit untuk mengatasi keterbelakangan atau ketertinggalan budaya. Misalnya, ketika teknologi baru datang dalam bentuk sepeda motor, sebagian orang langsung menyambutnya dengan ide untuk mempermudah pekerjaan, bisa bergerak cepat ke mana saja.

Namun, pihak lain mempertimbangkan resikonya. Jika Anda mengendarai sepeda motor, perjalanan mungkin lebih cepat, tetapi resikonya lebih besar, Anda dapat melukai diri sendiri secara serius, daripada berjalan kaki atau bersepeda.

Cara mengatasi ketertinggalan budaya tentu saja melalui kebijaksanaan. Kecerdasan manusialah yang akan mencoba menemukan cara untuk membuat segalanya lebih cepat dan lebih mudah.

Orang lain benar-benar dapat membantu orang-orang yang mengalami keterbelakangan budaya. Misalnya dengan memberdayakan, mensosialisasika perubahan, memfasilitasi akses pendidikan dan mencapai pembangunan.

Pada hakikatnya, untuk mengatasi fenomena ini, perlu dilakukan keseimbangan antara budaya material dan budaya immaterial. Jika hardware lebih cepat dari non-hardware, hasilnya akan menjadi culture lag.

Pemicu Terjadinya Cultural Lag

Setelah mengetahui definisi cultural lag, pada artikel kali ini akan membahas mengenai faktor penyebab perubahan budaya dan faktor apa saja pemicu terjadinya cultural lag. – Banyak dari kita sebagai bagian dari masyarakat modern pasti ingin mengetahui berbagai informasi dunia yang paling terbaru untuk sekedar mencari tahu informasi, menambah wawasan, ataupun mencari hiburan semata.

Namun, di tengah perkembangan zaman seperti sekarang ini ada beberapa orang yang justru memilih untuk menutup dirinya dari lingkungan sekitar atau bahkan dunia luar karena mereka memilih untuk tidak mau menjadi pusat perhatian dengan mengikuti tren yang tengah terjadi masyarakat.

Pemicu Terjadinya Cultural Lag

Dampak sederhana yang pasti terjadi dari sikap tersebut adalah mereka menjadi kurang mendapat informasi terbaru mengenai kehidupan yang terjadi di dunia atau hanya di lingkungan sekitar mereka atau menjadi ketinggalan budaya.

Contoh sederhananya, ketika seseorang memilih untuk tidak menggunakan smartphone maka pengetahuan informasi mereka mengenai berita atau kabar dunia lebih sedikit dibanding seseorang yang menggunakan smartphone. Fenomena seperti inilah yang sekarang disebut dengan istilah Cultural Lag atau ketertinggalan budaya.

Faktor Penyebab Perubahan Budaya

Fenomena sosial mengenai cultural lag disebabkan oleh ketertinggalan antara ranah pemikiran dan perkembangan teknologi. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perubahan budaya, diantaranya yaitu :

  • Ada hambatan untuk pembangunan secara umum
  • Kurangnya minat pada bidang yang perlu disesuaikan dengan pembangunan sosial
  • Kurangnya minat kontak dengan budaya material masyarakat lain
  • Kesatuan masyarakat tertentu dalam suatu wilayah

Budaya masyarakat dapat berubah dari waktu ke waktu, baik material maupun immaterial. Seringkali budaya material cenderung berubah lebih cepat daripada aspek yang tidak berwujud. Hal ini membuat teknologi rentan terhadap perkembangan sebelum masyarakat beradaptasi dengannya.

Menurut kelompok sosiologis, ketertinggalan budaya terjadi ketika budaya non-material tidak dapat mengimbangi budaya material. Perubahan budaya diperkirakan terjadi karena nilai, ideologi, dan  cara berpikir cenderung berkembang lebih lambat daripada teknologi.

Memang, segala sesuatu pasti memiliki hubungan sebab-akibat. Penyebab ketertinggalan budaya adalah budaya material seperti ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang pesat, namun sebagian masyarakat cenderung menolak atau menutup diri dari perkembangan tersebut. Dengan kata lain, mereka sulit beradaptasi.

Faktor Pemicu Terjadinya Cultural Lag

Terdapat beberapa faktor pemicu mengenai terjadinya fenomena Cultural Lag, diantaranya yaitu :

  1. Kurangnya Pengetahuan dan Pemikiran Masyarakat

Orang yang terbelakang budaya mungkin tidak menyadari keberadaan budaya baru. Oleh karena itu, mereka merasa sulit untuk memahami sepenuhnya perkembangan ini. Contohnya, ketika ada orang tua yang dibelikan model ponsel smartphone terbaru dari anaknya dan orang tua itu mencoba mengoperasikan smartphone tersebut dengan mencoba menghubungkan ke Internet setiap hari.

Namun, orang tua itu masih belum mengetahui bagaimana cara internet bekerja dan keaslian informasi yang berasal dari internet. Hal itu menjadikan ketertinggalan budaya yang terjadi pada orang tua itu karena ia tidak mampu beradaptasi dengan budaya menggunakan smartphone seperti yang digunakan oleh hampir seluruh masyarakat modern pada saat ini.

  1. Kurangnya kontak dengan budaya lain

Menjadi begitu terobsesi dengan satu budaya sehingga menarik diri dari budaya lain juga memiliki efek negatif. Ketika orang memilih menutup diri dan tidak bersosialisasi dengan orang dari budaya lain, atau tidak memiliki akses sosialisasi, menjadi sulit bagi mereka untuk berhubungan dengan budaya di luar dirinya. .

Jadi ketika ada budaya baru, mereka cenderung kurang update dalam memahaminya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempelajari budaya lain untuk menambah wawasan kita dan membuka pikiran kita untuk berkembang.

  1. Heterogenitas masyarakat yang tinggi

Masyarakat yang berbeda-beda atau beragam harus lebih mampu  menerima atau beradaptasi dengan perubahan budaya dan sosial. Sayangnya, heterogenitas menyebabkan  beberapa kelompok  cepat menerima perubahan, dan beberapa lambat menerima perubahan.

Bayangkan, contoh yang terjadi di Indonesia yang memiliki banyak suku, bahasa dan budaya. Dalam keragaman ini tentunya masyarakat  daerah lokal dan daerah kota memiliki perbedaan. Termasuk perbedaan pola pikir. Heterogenitas ini menyebabkan terjadinya perubahan budaya, ada yang cepat menerima dan ada yang lambat beradaptasi dengan perubahan budaya.

Teori Mengenai Cultural Lag

Pada artikel kali ini akan membahas mengenai definisi cultural lag, bagaimana teori mengenai cultural lag, dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari cultural lag.

Teori Mengenai Cultural Lag

Definisi Cultural Lag

Cultural lag dalam bahasa Indonesia disebut dengan ketertinggalan budaya. Dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Kewarganegaraan Demokratis, ketidakcocokan budaya adalah elemen lain dari budaya yang berubah.

Ketertinggalan budaya ini terjadi karena tidak aktifnya salah satu faktor budaya. Cultural lag juga dikenal sebagai ketidakseimbangan satu faktor budaya untuk mengakomodasi faktor budaya lain yang telah berubah. Sementara itu, William F. Ogburn menjelaskan teori pergeseran budaya dari perspektif sosiologis. Teori tersebut menjelaskan bahwa budidaya dan pertumbuhan pasti akan selalu berbeda. Secara keseluruhan teori, ketertinggalan budaya menjelaskan perbedaan tingkat kemajuan budaya yang berbeda. Dimana budaya tumbuh cepat, sedang budaya yang lain berjalan lambat.

Perbedaan tingkat kemajuan adalah bagian dari mobilitas budaya. Konsep ketertinggalan memiliki beberapa arti tersendiri, seperti periode waktu munculnya penemuan baru dan penerimaan penemuan tersebut.

Ketertinggalan budaya tersebut merupakan bagian dari fenomena sosial yang sering terjadi di masyarakat. Perubahan budaya menggambarkan apa yang terjadi dalam suatu sistem sosial ketika mengalami perubahan dan pengaruhnya tidak seimbang. Seringkali, cultural lag merupakan akibat dari gesekan antara penemuan baru dengan adat istiadat masyarakat sekitar yang ada.

Menurut kamus sosiologi, cultural lag adalah periode antara masuknya perkembangan teknologi baru (budaya material) ke dalam suatu budaya atau suatu masyarakat. Cultural lag dapat didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu budaya untuk mengejar inovasi teknologi. Ketertinggalan budaya juga bisa disebut ketidaksesuaian budaya.

Teori Mengenai Cultural Lag

Istilah cultural lag diciptakan oleh William F. Ogburn pada tahun 1992 dalam bukunya “Changing Society with Respect for Culture and Primitive Nature”. Cultural lag atau ketertinggalan budaya adalah tahap yang terjadi sesaat setelah budaya non-material berjuang untuk beradaptasi dengan kondisi material yang baru.

Ogburn menemukan bahwa budaya material cenderung berkembang dan maju lebih cepat daripada budaya non-material. Kebudayaan mengacu pada gagasan, kebiasaan, pemikiran, perilaku dan segala sesuatu yang menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya memiliki dua sisi, dengan material dan tanpa material.

Aspek material mengacu pada elemen budaya yang lebih nyata, seperti teknologi, pakaian, mobil, telepon, dan apa pun yang dapat dilihat dan disentuh daripada diamati. Aspek tidak berwujud mengacu pada bagian budaya yang tidak berwujud, seperti bahasa, ideologi, norma, nilai, gerak tubuh, budaya modern dll.

Ogburn percaya bahwa budaya material cenderung berkembang pesat, sedangkan norma-norma sosial cenderung menolak perubahan dan berkembang jauh lebih lambat.

Dampak yang Timbul dari Cultural Lag

Perubahan dalam masyarakat, terutama yang berkaitan dengan budaya, seringkali membawa dampak. Dampak dari pergeseran budaya adalah menimbulkan goncangan sosial dengan cara berpikir baru, tindakan baru atau aktivitas baru.

Hal ini dapat menyebabkan berbagai jenis konflik, terutama yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional. Misalnya, masyarakat dengan cara pandang yang lebih konservatif yang menginginkan budaya lamanya cenderung tetap sama dengan leluhurnya. Sementara itu, kelompok lain dengan visi yang lebih progresif menginginkan budaya mereka berubah seiring waktu.

Ketertinggalan budaya menciptakan masalah bagi masyarakat dengan cara yang berbeda. Perbedaan yang diciptakan oleh budaya lag menimbulkan masalah sosial dan konflik. Efek pergeseran budaya biasanya terjadi ketika ada ilmu atau teknologi baru.

Ketertinggalan budaya dianggap sebagai masalah etika yang penting karena kegagalan untuk mengembangkan konsensus sosial yang luas tentang penggunaan teknologi modern yang tepat dapat menyebabkan runtuhnya solidaritas sosial, dan konflik sosial muncul.